Kamis, 22 November 2012

Politik Cinta

Cinta pada dasarnya adalah Politik. Tidak percaya ?? Ehm….hayu kita simak jabarannya…

Pada dasarnya setiap aktivitas politik bertujuan untuk mensejahterakan segenap warga masyarakatnya sebagai “empu” kedaulatan. Demikian pula cinta….keberadaan dan keseluruhan aktivitas cinta sesungguhnya diharapkan mampu mensejahterakan “warga” cinta sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Jika salah satu “warga” merasa tidak tersejahterakan…..maka hampir bisa dipastikan kesepakatan politik cinta pun akan berusaha di akhiri atau bahkan berakhir…

Sama halnya seperti yang terjadi dalam politik…penyimpangan atau bahkan kesenjangan antara derivasi makna dan realitas politik biasanya terjadi disebabkan adanya prilaku politik seorang atau sekelompok yang tidak terpuji karena tujuan pribadi sehingga melahirkan ketidakadilan yang berdampak negatif terhadap makna politik yang sebenarnya. Hal tersebut ada kalanya terjadi dalam politik cinta. Terkadang tanpa disadari salah seorang empunya kedaulatan melakukan tindakan terpuji demi untuk mencapai tujuan pribadi sehingga melanggar kesepakatan cinta yang telah di ikrarkan sebelumnya.

Dalam konteks politik, saya lebih memilih untuk berkaca pada prilaku politik Gandhi yang begitu manusiawi dan egaliter dalam setiap kebijakan politiknya. Prinsip ahimsa dan non-violence dalam politiknya tidak sekedar slogan, tetapi realitas yang integral dengan kepribadian Gandhi. Walaupun akhirnya Gandhi kemudian tewas diujung peluru tajam karena kearifan dalam menjalankan politik dengan kedalaman makna di dalamnya.

Ahimsa dalam bahasa sansekerta berarti anti kekerasan. Metode Ahimsa mengandung spiritualitas sebagai nyawa. Ahimsa berarti bahwa manusia harus menghindari segala bentuk kekerasan dalam kehidupannya. Bagi Gandhi, perbedaan dalam politik adalah untuk disatukan. Itulah yang Gandhi lakukan diantaranya dengan berusaha pendekatkan para tokoh dari agama Hindu dan Islam untuk meredakan ketegangan antara keduanya. Akibatnya, seorang penganut Hindu fanatik, Nathuram Godse, yang mengkhawatirkan nantinya akan ada dominasi Islam, melakukan penembakan terhadap Gandhi saat sesudah pertemuan doa pada 30 Januari 1948. Setengah jam kemudian Gandhi menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Begitu pula dalam politik cinta, perbedaan diantara kedua individu seharusnya dapat dijadikan energi untuk mendekatkan satu sama lainnya. Tidak mudah karena pastinya memerlukan kearifan dan toleransi. Seseorang yang memahami ahimsa maka dia akan selalu memegang teguh kebenaran yang sesungguhnya (satyagraha). Satyagraha berarti kebenaran, dan kebenaran yang dapat direalisasikan dalam pikiran, perkataan dan perbuatanlah yang dapat disebut benar. Manusia dapat merealisasikan kebenaran hidup jika mampu mengendalikan 6 rintangan dalam etika India yakni, hawa nafsu, rasa marah, keserakahan, kebirahian, kesombongan dan kepalsuan. Ke-enam hal itu juga merupakan pengetahuan dasar bagi pecinta kebenaran. Begitu pula dalam politik cinta, seseorang yang memegang kedaulatan cinta seharusnya selalu memegang teguh kebenaran sejati dengan mampu mengendalikan diri atas 6 hal itu.

Ahimsa juga menyatakan bahwa kodrat manusia berbeda dengan dengan binatang. Manusia yang merupakan kesatuan jiwa dan raga. Jika nilai-nilai itu dipegang teguh, tentunya prostitusi tidak akan berkembang begitu maraknya. Dalih bahwa prostitusi tidak akan membahayakan keutuhan cinta karena dengan dalih hal itu tidak dilakukan dengan “hati” jelas bersebrangan dengan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri, sebab pada hakekatnya kemanusiaan berarti kemanunggalan hati dan raga itu sendiri yang menjadi pembeda manusia dengan binatang.

Dalam politik Gandhi dikenal adanya Brachmacharya. Secara harafiah brachmacharya berarti tingkah laku yang menuntun manusia kepada Tuhan. Secara teknis berarti pengekangan diri terutama penguasaan dan pengendalian diri dari hawa nafsu. Politik cinta berdasarkan politik Gandhi, seharusnya mampu mengajarkan kita untuk mengendalikan diri dari penguasaan hawa nafsu demi menjaga keutuhan kedaulatan cinta itu sendiri.

Gandhi juga mengajarkan nilai-nilai Abhaya yang diartikan sebagai bebas dari semua rasa takut seperti takut akan mati, rasa lapar, penghinaan, penganiayaan, murka dan yang sejenisnya. Dalam hal ini manusia dituntut untuk memiliki keberanian, berani berkorban, bersabar, berbuat tanpa ketakutan pada semua realitas. Menurut Gandhi, manusia harus bebas dari rasa takut karena hal itu tidak pernah menjadi dasar moral. Nah jika itu dipraktekan dalam politik cinta….ehm…tentunya politik cinta itu akan semakin memungkinkan untuk mensejahterakan para pemegang kedaulatannya….

Politik

Bahan bacaan :

MANUSIA BIJAK DARI TIMUR: Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Konsepnya Tentang Manusia Ideal oleh Suratno di muat dalam Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 5, No. 2, Juli 2007, Jakarta: Universitas Paramadina, hal. 106-128

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More